Sendiri Dalam Hujan

Posted on

Sendiri Dalam Hujan

PENCARIAN JATI DIRI

Sendiri Dalam Hujan – Malam semakin larut, dan suara jangkrik terdengar dari kolong-kolong rumah panggung warga, sesekali terdengar suara burung hantu, dan juga lolong anjing di kejauhan. Nampak seorang pemuda terhuyung turun dari skuter tua yang ia parkirkan di halaman rumahnya, sebuah tempat tinggal yang cukup sederhana namun terlihat asri. Sambil tertatih menaiki tangga bale-bale rumah, disulutnya sebatang rokok kretek merk “Kuberi Satu Permintaan”; sebuah aktivitas yang sangat biasa namun nampak begitu sulit ia lakukan mengingat kondisinya yang setengah mabuk.

Api yang terpantik bukannya menyulut ujung rokok melainkan membakar jenggotnya yang ia biarkan panjang tak terurus. Bau hangit pun tercium, namun bukannya panik, ia malah tertawa senang. Diusapnya jenggot itu ke atas dan ujungnya dimasukan ke dalam mulut hingga rokoknya terjatuh. Ia merem-melek seolah sedang menyuwir jembut. Satu tangannya turun merogoh celana yang resletingya rupanya memang lupa ia tutup, diusapnya penisnya yang tertidur tanpa celana dalam. Ia seolah mau menidurkan batang itu, namun bukannya tidur, usapan tangannya malah membuat benda kenyal itu menggeliat.

“Hahaha…” pemuda itu tertawa sendiri sambil merem-melek.

Seorang putri bergaun merah terbayang dalam benaknya.

“Iiih mesuuuum.” tiba-tiba sebuah pekikan terdengar.

Sang pemuda melirik ke arah datangnya suara sambil mengeluarkan penisnya sehingga melongok keluar melalui lubang seleting. Nampak seorang nenek sedang berdiri di ambang pintu pagar halaman. Senyumnya menyeringai, matanya berbinar melihat ke arah penis sang pemuda. Mulutnya terbuka dan gusinya yang sudah tanpa gigi terlihat, seolah memberi kode ingin mengemut pejantan pemuda itu.

“Hahaha…” si pemuda tertawa bangga.

Ia tidak sadar bahwa wanita di halaman itu bukanlah gadis berbaju merah, melainkan seorang nenek yang sudah keriput. Sambil sempoyongan si pemuda kembali turun dari atas bale-bale mendekati nenek tersebut, diacung-acungkan penisnya seolah mau pamer, sedangkan si nenek tertawa kegirangan sambil menyibak kebaya lusuhnya.

Tuiiiing… juntaian kisut dan peyot menyembul. Si pemuda menghentikan langkahnya, digedek-gedekan kepala seolah mau memastikan apa yang ia lihat. Di matanya itu adalah payudara yang sangat sekal. Ia kembali mendekat dengan langkah gontai, matanya yang merah karena pengaruh alkohol nampak semakin menyala.

“Hihi…” kikik sang nenek, lalu tangannya terjulur seolah mau menghentikan langkah si pemuda.

“Kamu mau nenen, nduk?”

“Shhh… iyah… boleh kan, cantik?” jawab si pemuda.

“Boleh.. boleh… tapi ada syaratnya.” jawab si nenek sambil memelintir putingnya sendiri.

“Apa itu, cantik?” ujar si pemuda dengan wajah sange.

“Kamu tidak boleh mabuk-mabukan lagi.” jawab si nenek sedikit tegas.

“Aku tidak pernah mabok.” kilah si pemuda sambil mengusapkan jempolnya pada ujung penis.

“Kamu bohong! Kalau memang kamu tidak mabuk, coba kamu tangkap aku dan aku akan memberikan seluruh tubuhku.”

Mendengar tantangan si nenek, si pemuda terbahak dan menyeringai sange. Ia langsung merentangkan tangannya untuk memeluk si nenek. Huuuuuf. Ia hanya merangkul angin, karena dengan gesit tubuh si nenek berjingkat menghindar. Gerakannya nampak begitu ringan bagai angin.

“Hahahaa…” bahak si pemuda.

Ia merasa tertantang untuk bisa menaklukan wanita yang di matanya sangat menggoda itu. Ia langsung membalikan badan untuk menangkap pinggang si nenek. Wuuuuzz.. lagi-lagi ia hanya menyapu angin. Akhirnya bagai kesetanan ia berusaha menangkap si nenek, tapi wanita tua itu bisa menghindar dengan gesit, sambil tak hentinya tertawa meledek.

“Kamu lagi ngapain, Nte?” terdengar suara dari dalam rumah, dan tak lama kemudian muncul wanita paruh baya melongok dari pintu.

Pemuda itu melihat ke arah datangnya suara, bersamaan dengan itu sosok sang nenek seketika menghilang.

“Kamu lagi ngapain?” tanya sang wanita lagi.

“Hahaha… ini aku lagi main-main ama pacarku, bu.” jawabnya.

“Pacar?! Siapa? Nggak ada siapa-siapa tuh.” jawab si wanita yang ternyata adalah ibunya.

“Ini… Eh…” si pemuda celingukan mencari sosok sang nenek.

“Kamu pasti mabuk lagi, kan nak? Mau jadi apa kamu ini? Ibu udah capek menasihati kamu, dan ibu sudah tidak tahu lagi mau ditaruh di mana muka ini. Ibu sudah sangat malu ama warga.” keluh si ibu.

Bukannya takut, si pemuda bernama Dante itu malah tertawa, urat malunya sudah hilang karena pengaruh alkohol yang sudah mengganggu kesadarannya.

“Sayang kamu di mana? Sayang?!” ujarnya sambil celingukan mencari sosok sang nenek.

“Aku akan datang lagi kalau kamu sudah berhenti mabuk.” terdengar suara sang nenek dari kejauhan. Tentu saja hanya Dante yang bisa mendengarnya.

“Hahaha… aku tidak mabuk. Kemarilah, sayang. Hahahaha… aku mau nyuwir kamu sampai keenakan.”

“Ya ampun, Dante!! Sudah kamu jangan teriak-teriak sendiri, malu ama tetangga. Ayo masuk!!” hardik sang ibu sambil turun dari tangga bale-bale rumah.

Langsung ditariknya tangan anak semata wayangnya itu, dan menuntunnya setengah menyeret. Penciumannya langsung menghirup bau alkohol dari mulut anaknya. Dante hanya tertawa saja sambil mengikuti langkah ibunya, namun kakinya tersandung tangga bale-bale. Bruuuuk….. Ia ambruk di atas lantai papan tanpa mampu disangga oleh ibunya yang bertubuh lebih kecil. Dante pun langsung tertidur tak sadarkan diri.

“Dante… Dante… Bangun, nak!! Kamu itu bikin susah ibu saja!” keluh wanita berusia empat puluh lima tahun itu.

Ia ingin memarahi anaknya habis-habisan, tapi percuma karena Dante sudah tak sadarkan diri, lagi pula ia tidak mau membuat tetangganya pada terbangun. Ia hanya bisa menangis dalam hatinya sambil menyambat sang suami yang sudah almarhum. Susah payah ia menyeret tubuh anaknya ke dalam rumah, sambil tak hentinya menggerutu pelan. Sejatinya hatinya menjerit karena merasa gagal mendidik dan membesarkan anaknya. Semenjak suaminya meninggal, Dante berubah menjadi pemuda yang susah diatur dan malah bergaul dengan para preman pasar.

Ia juga menjadi sering mabuk-mabukan. Seluruh warga sudah tahu semua, dan sangat sinis pada pemuda ini. Kalau bukan karena menghormati ibunya, mungkin mereka sudah mengusir Dante dari kampung. Anehnya, hanya kaum lelaki saja yang membenci Dante, sedangkan istri-istri mereka selalu saja menemukan cara untuk membela. Entah pesona apa yang dimiliki pemuda itu, atau entah perbuatan apa yang sudah dilakukannya, sehingga para ibu-ibu seolah tetap menginginkan dia ada di kampung mereka.

Akhirnya, ibunya Dante berhasil menyeret tubuh anaknya ke dalam rumah dan menggeletakannya di atas tikar ruang tengah. Nafasnya terengah karena tubuh berat anaknya. Keadaan rumah yang terang-benderang membuat ia bisa melihat kondisi anaknya dengan jelas. Rambutnya yang gondrong terlihat acak-acakan, kaosnya nampak basah oleh keringat sehingga memerkan dadanya yang bidang. Wanita itu sedikit tersentak ketika melihat ada yang nongol dari celah seleting anaknya

Sebuah batang kecoklatan dengan kepala yang mengkilap. Masih terjulur setengah tegang. Ia langsung menutup mulutnya dengan mata terbelalak. Awalnya ia begitu kesal atas kelakuan anaknya yang bahkan tidak memakai celana dalam itu. Namun entah mengapa, perasaannya berdesir melihat kenjantanan anaknya, sebuah benda yang terakhir kali ia lihat ketika ia masih berumur dua belas tahun, tepatnya ketika ia disunat. Sedangkan kini Dante sudah berumur dua puluh satu tahun.

Di samping itu, sejak suaminya meninggal tujuh tahun yang lalu, ia sudah tidak pernah melihat kejantanan pria lagi. Ia sempat merindukan sebuah kenikmatan seperti malam-malam indah bersama sang suami, namun selama tujuh tahun ini ia berhasil meredamnya, meskipun masih banyak lelaki yang menawarkan kenikmatan itu, entah sekedar menggoda mencari kesenangan, atau serius meminangnya sebagai istri. Ia masih menyayangi suaminya. Rasa sayang itu mengalahkan kesepiannya selama ini.

Ia bertekad untuk tidak menikah lagi sampai akhir hayatnya, meskipun ia sendiri kadang tidak yakin apakah akan bisa menjalaninya atau tidak. Ia terus terpaku memandang penis anaknya, ada perasaan asing yang menyeruak, perasaan yang selama ini ia tekan dan tahan-tahan: dahaga akan belaian dan kasih sayang. Ia tidak menampik, bahwa di balik komitmennya untuk tidak menikah lagi, sebagai wanita biasa ia masih tetap merasakan kesepian.

“Sadar, Tempi, sadar…!!!” ia bergumam dengan menyebut namanya sendiri. Ya, namanya adalah Tempi, tepatnya Tempi Basyah.

Sadar bahwa ia belum menutup pintu ia pun segera melangkah ke depan untuk menutupnya. Namun meskipun ia sudah menjauh dan membelakangi anaknya, bayangan penis itu terus tergambar. Mungkin ia sudah terbiasa melihat penis suaminya dulu, tapi ukuran penis anaknya yang menurutnya sangat besar membuat ia senewen sendiri. Usai menutup pintu ia kembali mendekati tubuh anaknya. Lagi-lagi, yang ia lihat pertama kali, adalah penis itu. Dadanya kembali terkesiap, dan jantungnya berdebar.

Meski begitu, akal sehat dan kesadarannya masih membuatnya bisa mengontrol diri. Ditahannya dorongan untuk melihat secara lebih dekat, ada juga keinginan untuk menyentuhnya sekedar untuk memasukannya kembali ke dalam celana, tapi ia tidak mau hal itu malah memicu kodrat dasar kebutuhannya sebagai wanita. Yang ia lakukan adalah mengambil sarung dan ditutupkannya pada tubuh sang anak. Ia pasti tidak akan sanggup memindahkan tubuh anaknya ke dalam kamar, apalagi mengangkatnya ke atas tempat tidur.

Selain menyelimuti Dante, ia juga memasangkan bantal agar anaknya bisa tertidur dengan nyaman. Dimatikannya lampu ruang tengah, dan kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan tidur. Namun apa daya, kantuknya seketika hilang, jantungnya terus saja berdebar, dan ada yang gatal pada area selangkangannya. Seluruh daerah sensitifnya terasa geli, dan sentuhan kain dasternya menimbulkan sensasi tersendiri, apalagi ia tidak pernah mengenakan bra setiap kali tidur.

Dimiringkan badannya sambil memeluk guling, dan menghimpitnya di antara kedua paha. Namun justru hal itu menimbulkan rasa nikmat pada selangkangannya. Entah sadar atau tidak, ia mulai menekan-nekan pangkal pahanya pada guling sehingga menimbulkan rasa nikmat. Seumur-umur ia tidak pernah masturbasi, bahkan ia tidak pernah tahu bahwa orang bisa memuaskan dirinya sendiri dengan cara seperti itu. Ia cukup polos dalam hal ini, dan pengetahuan seksualnya sangat terbatas. Ibu Tempi menggigit bibirnya sendiri dan memejamkan mata dengan kening mengkerut.

Bayangan penis anaknya kembali terbayang dan birahinya tiba-tiba melonjak. Ia berusaha sadar, namun rasa nikmat mengalahkan segalanya. Secara naluriah ia malah menggulingkan badannya dan telungkup di atas guling berbahan kapuk tersebut. Dasternya tersingkap sehingga pahanya yang putih dan masih mulus terpampang. Ditekan-tekannya vaginanya yang mulai basah ke atas guling, ia meringis kenikmatan. Sedangkan putingnya yang tiba-tiba mengeras menekan-nekan ujung guling bagian atas.

“Shhhh… mmmh…” entah sadar atau tidak, Ibu Tempi mulai mendesah.

Kini ia bukan hanya menekan pinggulnya, melainkan sudah menggesek-gesekan selangkangannya pada guling. Meski ia mengenakan celana dalam, namun rasa nikmat itu ia rasakan. Dalam benaknya, ada batang penis yang sedang menggesek-gesek bibir vaginanya. Tidak puas dengan itu, ia mengangkat ujung dasternya sampai ke pinggang, dan nampaklah bongkahan pinggulnya yang lembar, dibalut oleh celana dalam hitam yang nampak ketat. Gesekannya semakin keras, dan bahkan ia sudah meremas payudaranya sendiri dari balik daster.

Bu Tempi sudah hilang akal, ia benar-benar mengalami sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kini ia merasakan kenikmatan yang belum pernah ia alami sebelumnya, yaitu kenikmatan yang ia peroleh tanpa kehadiran seorang laki-laki; cukup dengan membayangkannya saja. Anehnya, ia malah membayangkan penis anaknya yang besar itu. Ia semakin blingsatan, dan ia semakin bergerak liar. Celana dalam bagian depannya sudah basah kuyup, dan membasahi sarung guling.

Ia berpacu dan berpacu, mulutnya tanpa sadar terus berdesis, dan bahkan sekali-kali mengerang cukup keras. Sementara ia meraup nikmat dalam masturbasinya, Dante terbangun. Ia terganggu oleh suara berisik ranjang dan rintihan ibunya. Pemuda itu menggeliat dan mengusap mukanya beberapa kali. Ia merasa begitu pusing. Sejenak ia hanya membujur telentang sambil membuka mata dan menajamkan pendengaran. Sebagai pemuda yang sudah terbiasa dengan perlendiran, ia bisa langsung tahu bahwa yang ia dengar adalah suara perempuan yang sedang merintih keenakan karena syahwat birahi.

Meski masih dipengaruhi oleh alkohol, ia masih bisa berpikir bahwa di rumah ini hanya ada dirinya dan ibunya. Jadi wanita itu? Dante bangkit dengan amarah yang menggelegak. Pikirnya, ada lelaki yang sedang menggauli ibunya. Susah payah ia bangun dan melangkah tertatih-tatih. Tangannya berpegangan pada dinding papan agar tidak terjatuh. Langkahnya langsung menuju kamar ibunya.

Suara erangan dan rintihan langsung terdengar semakin jelas, membuat Dante semakin marah. Tangannya langsung menyibak tirai kamar, karena memang semua kamar di rumahnya tidak ditutup oleh pintu, melainkan oleh tirai kain. Dan inilah awal kisah seorang pemuda bernama Dante. Singkat, padat, jelas, tanpa nama belakang. Seorang pemuda berandalan yang mencari jati diri dan cinta sejati… Hujan adalah refren hidupnya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,